BORNEO DALAM GEOGRAFI HINDIA BELANDA

(BORNEO IN THE GEOGRAPHY OF THE DUTCH EAST INDIES)


Pendahuluan

Mengapa dan Bagaimana Buku Ini Ditulis

Buku pelajaran Ilmoe Boemi dan Beknopte Aardrijkskunde van Nederlandsch–Indië merupakan sumber pengetahuan yang diajarkan di sekolah-sekolah Nusantara pada masa Hindia Belanda. Buku-buku ini menggambarkan kondisi geografis pulau-pulau di Nusantara (Sumatera, Borneo, Jawa, Bali, Sulawesi, Kepulauan Timor, dan Papua), sistem pemerintahan lokal dan pemerintahan Hindia Belanda, serta manusianya (orang negeri dan orang asing).

Adapun Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsch-Indië adalah buku rujukan bagi para pejabat Hindia Belanda, peneliti, pelancong, pedagang, dan misionaris. Buku ini berupa kamus yang lema-lema di dalamnya menggambarkan kondisi Nusantara dari sisi pemerintahan lokal dan Hindia Belanda, data ekonomi, demografi, nama-nama tempat, dan sebagainya.

Buku-buku tersebut masih ada, tetapi jarang dijadikan rujukan oleh pengajar sejarah, pegiat literasi, peneliti, sejarawan, antropolog, sosiolog, maupun kaum intelektual lainnya. Jika Ilmoe Boemi ditulis dalam bahasa Melayu klasik, maka Beknopte Aardrijkskunde van Nederlandsch–Indië dan Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsch-Indië ditulis dalam bahasa Belanda klasik. Meskipun kaya akan informasi dan menjadi sumber penting dalam pembentukan identitas masyarakat Nusantara, buku-buku tersebut kini tidak lagi populer dan sulit dipahami.

Oleh karena itu, buku BORNEO DALAM GEOGRAFI HINDIA BELANDA disusun berdasarkan data-data dari sumber-sumber tersebut, agar para intelektual masa kini dapat memahami sejarah Borneo dari perspektif geografi Hindia Belanda.


Bab I — Melihat Data Geografi Hindia Belanda Sebagai Sumber Sejarah

Bab ini memaparkan bagaimana teks-teks geografi abad ke-19 dan awal abad ke-20 — terutama buku pelajaran serta kamus statistik dan geografi terbitan Hindia Belanda (pra-Indonesia), seperti berbagai edisi Ilmoe Boemi, Beknopte Aardrijkskunde van Nederlandsch–Indië, serta Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsch-Indië — merefleksikan sejarah Nusantara dari sudut pandang Hindia Belanda.

Bagian ini menekankan nilai dokumen geografis sebagai sumber sejarah, dengan menyoroti bagaimana informasi topografi, etnografi, dan ekonomi digunakan dalam upaya merekonstruksi jati diri masyarakat Nusantara.


Bab II — Borneo Dalam Geografi Hindia Belanda

Bab ini memaparkan bagaimana Borneo dideskripsikan dalam buku-buku dan kamus geografi terbitan Hindia Belanda pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Pembahasan mencakup manusia, batas-batas wilayah, pembagian administratif, kondisi alam, hasil bumi, serta jaringan sungai.

Pembaca diajak memahami bagaimana karya-karya geografi tersebut menggambarkan Borneo dan penduduknya. Uraian juga menelusuri sumber-sumber yang dijadikan rujukan dalam penyusunan kamus geografi, antara lain hasil perjalanan Schwaner, Maks, Perelaer, Bangert, Tromp, dan lainnya.


Bab III — Orang-Orang Borneo Dalam Geografi Hindia Belanda

A. Orang Negeri atau Bumiputera

Dalam konteks geografis dan etnografis Hindia Belanda, istilah bumiputera atau orang negeri hanya digunakan untuk menyebut Bangsa Dayak. Pada abad ke-19, belum dikenal istilah seperti etnis Banjar atau etnis Kutai sebagaimana pada masa Indonesia modern.

Istilah “Banjar” pada masa itu lebih menunjuk pada kerajaan atau wilayah kekuasaan, bukan kelompok etnis, sehingga penamaan etnis Banjar perlu dijelaskan melalui pendekatan etnogenesis, dengan memperhatikan unsur-unsur pembentuk identitasnya.

Orang negeri digambarkan mendiami wilayah dari pesisir hingga ke perhuluan sungai. Dalam Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsch-Indië, pada entri kata “Borneo”, disebutkan bahwa jumlah penduduk Borneo pada tahun 1853 sekitar 1.200.000 jiwa. Dari jumlah itu, sekitar 900.000 jiwa digolongkan sebagai Dayak (orang negeri), 200.000 jiwa sebagai Melayu dan 50.000 jiwa sebagai orang Cina.

Melayu dalam konsep entri kata itu memang perlu dibedah lebih jauh, karena berdasarkan uraian dalam kamus tersebut serta laporan perjalanan pejabat Hindia Belanda seperti Bangert, istilah “Melayu” di sini tidak hanya menunjuk pada orang dagang, tetapi juga pada orang Dayak yang telah memeluk Islam.

B. Orang Dagang

Klasifikasi “orang dagang” mencakup komunitas perantau dan pedagang yang berperan dalam jaringan ekonomi pesisir serta antar-pulau, antara lain Melayu (sebagai pendatang atau aktor luar lokal), Bugis, Cina, Arab, dan kelompok perantau lainnya. Bagian ini membahas peran sosial-ekonomi mereka, pola migrasi, serta interaksi dengan masyarakat Dayak dan kerajaan-kerajaan lokal.

Di kawasan Banjar—wilayah kekuasaan Sultan Banjar—orang dagang seperti Melayu, Cina, Bugis, dan Arab, berdasarkan perjanjian antara Sultan dan Residen, tunduk pada hukum Hindia Belanda, sedangkan orang negeri tunduk pada hukum Sultan.

Berbeda halnya dengan kawasan Borneo Barat, di mana orang-orang Arab justru menjadi penguasa, misalnya di Pontianak – dimana kerajaan yang menjadi Bandar sentral dan kedudukan residen ini didirikan serta dipimpin oleh Sultan keturunan Arab.


Bab IV — Bentuk Pemerintahan di Borneo Semasa Hindia Belanda

Bagian ini menggambarkan sistem pemerintahan di Borneo pada masa Hindia Belanda. Pada masa itu, Borneo terbagi menjadi tiga wilayah, yakni kawasan Hindia Belanda, kawasan kolonisasi Inggris, dan Kesultanan Brunei.

A. Kerajaan di Kalimantan

Kalimantan adalah kawasan yang menjadi bagian dari Hindia Belanda. Sekitar tahun 1853 terdapat banyak kerajaan di kawasan ini, seperti: Banjarmasin, Pontianak, Berau, Gunung Tabur, Tidung, Paser, Kotawaringin, Matan, Sukadana, Mempawah, Landak, Tayan, Sanggau, Sekadau, Sintang, Selimbau, dan sebagainya.

Kerajaan-kerajaan ini berkontrak dengan pemerintah Hindia Belanda. Kontrak ini berkaitan dengan pengawasan, hubungan militer, hubungan ekonomi, dan sebagainya.

B. Tanah Dusun dan Tanah Dayak

Tanah Dusun dan Tanah Dayak merupakan kawasan yang tidak tunduk kepada kerajaan. Pada awalnya, kawasan ini berada di bawah kekuasaan Sultan Banjarmasin. Namun, sejak dibuatnya perjanjian antara Sultan Banjar dan Residen—yang dimulai pada tahun 1787, kemudian diperbarui pada tahun 1808 dan 1826—wilayah ini masuk ke dalam Tanah Gouvernement.

Sebagai wilayah pemerintahan Hindia Belanda, kawasan ini dipimpin oleh para kepala suku Dayak yang bertanggung jawab kepada gezaghebber yang berkedudukan di Marabahan dan Kuala Kapuas.

C. Model Pemerintahan Hindia Belanda di Kalimantan

Selain diperintah oleh raja-raja, Kalimantan juga dipimpin oleh dua residen:

  • Western Afdeeling, yang mengelola bagian barat dengan Pontianak sebagai kota residen, serta Sintang, Montrado, dan Sambas sebagai kedudukan asisten residen.

  • Zuider- en Oosterafdeeling, dengan kedudukan residen di Banjarmasin, dan asisten residen di Samarinda, Martapura, serta Amuntai.

D. Inggris di Sabah dan Serawak

Sabah dan Serawak adalah kawasan koloni Inggris. Bagian ini menggambarkan sistem pemerintahan di Sabah dan Serawak semasa Hindia Belanda.

E. Kesultanan Brunei

Brunei adalah kawasan kecil di Borneo yang diperintah oleh Sultan. Bagian ini menggambarkan kawasan Brunei pada masa Hindia Belanda.


Bab V — Perdagangan di Borneo Semasa Hindia Belanda

A. Perdagangan Oleh Orang Dayak

Orang Dayak digambarkan oleh Ilmoe Boemi sebagai orang negeri yang hidup di kawasan muara sampai perhuluan sungai. Selain terlibat dalam pertanian—khususnya perladangan lahan kering (nomaden di hulu sungai, misalnya Punan)—orang Dayak di wilayah muara juga aktif dalam kegiatan perdagangan, bahkan hingga perdagangan antarpulau.

Schwaner mencatat aktivitas perdagangan orang Dayak di Pulau Petak dan Kahayan Hilir, yang menguasai kawasan Dayak Kecil (Kapuas Murung), Sampit, Katingan, Dayak Besar (Kahayan), dan Melawi (Kerajaan Sintang). Orang Dayak menjual hasil bumi ke Jawa dan Singapura kepada para pedagang Cina, lalu membeli barang-barang untuk dijual di Borneo. Sementara itu, orang Dayak Bakumpai dari Marabahan menguasai kawasan Barito dan berdagang hingga ke Mahakam.

B. Perdagangan Oleh Orang Bugis

Menurut Ilmoe Boemi, orang Bugis adalah orang negeri di Sulawesi. Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsch-Indië menuliskan bahwa orang Bugis membangun koloni dagang di Samarinda dan Mempawah. Mereka mendirikan kerajaan kecil di Batu Licin. Berdagang hampir di seluruh kawasan Borneo, misalnya di Banjar, Sekadau, Sintang, Sanggau, Matan, dan sebagainya ada orang Bugis yang berdagang.

Di Tanah Banjar, orang Bugis tunduk kepada hukum Hindia Belanda – bukan kepada hukum Sultan Banjar.

C. Perdagangan Oleh Orang Melayu

Menurut Ilmoe Boemi, Melayu adalah orang negeri di Sumatera (sama seperti Batak, Kubu, dan sebagainya). Perdagangan orang Melayu di bandar-bandar Borneo (Sukadana, Tanjungpura) sudah dicatat oleh Tome Pires dalam Suma Oriental pada awal abad XVI.

Ilmoe Boemi menyebutkan orang Melayu sebagai orang asing (orang dagang) di Borneo, yang bermukim di kawasan pesisir. Itulah sebabnya, di Tanah Sultan Banjar, orang Melayu tunduk kepada hukum Hindia Belanda.

Dalam sistem administrasi para gezaghebber dan controleur, orang Dayak yang masuk Islam ditulis sebagai Melayu pada masa Hindia Belanda. Meskipun secara historis – geneologis – linguistik mereka adalah Dayak – misalnya orang Bakumpai (dimana Bangert menuliskan Bakumpai sebagai Dayak, sedangkan Scharer menuliskan Bakumpai sebagai Dayak Ngaju beragama Islam).

D. Perdagangan Oleh Orang Cina

Orang Cina sudah lama berdagang di Borneo. Mereka menyebar di seluruh kawasan dagang di Borneo. Meskipun demikian, ada kantong-kantong orang Cina, sebagaimana digambarkan oleh Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsch-Indië bahwa Monterado dan Sambas merupakan kantong pemukiman orang Cina.

Kehadiran orang Cina mempengaruhi budaya orang-orang Dayak. Bahwa barang-barang yang dibeli dari orang Cina adalah simbol kekayaan pada masa lalu (tempayan, peralatan rumah tangga, dan sebagainya).


Bab VI — Melihat Borneo dari Data Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsch-Indië

Bagian ini memberikan gambaran hal-hal yang dibahas secara khusus oleh kamus statistik dan geografi edisi I, II, dan III. Buku ini menggambarkan cukup detail berbagai kawasan, termasuk persebaran orang Dayak dan orang Melayu, nama-nama sungai utama, kampung utama, dan sebagainya.

Selain menggambarkan kondisi berdasarkan data dari Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsch-Indië, bagian ini juga menggambarkan penghuni dari masing-masing wilayah pada saat ini, misalnya Dayak di Montallat menghasilkan besi Montallat yang merupakan besi terbaik di kawasan Borneo pada masa itu.

A. Afdeling Borneo Selatan dan Timur

Di kawasan ini, pada abad XX dan XXI kita mengenal orang Dayak (beragam Dayak; Lundayeh, Bahau, Banuaq, Kayan, Bakumpai, Ngaju, Dusun, Maanyan, Lawangan, Siang, Ot Danum, Arut, Tamuan, dan sebagainya), Banjar, Kutai, Paser, Tidung.

Dayak sebagai sebutan orang negeri sudah populer pada abad XIX, khususnya dalam dokumen Hindia Belanda atau tulisan para peneliti. Pada masa Hindia Belanda, Banjar, Tidung, Paser, Kutai, Gunung Tabur adalah nama kerajaan di kawasan afdeling Borneo Selatan dan Timur.

Pada masa itu, orang negeri kebanyakan menyebut diri sesuai dengan nama sungai tempat mereka berada. Meskipun kebanyakan merujuk kepada suatu kawasan sungai, Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsch-Indië punya identifikasi khusus untuk manusia, misalnya Sungai Montallat di Barito dihuni oleh orang Dayak, Sungai Bahau di Mahakam dihuni oleh orang Dayak, dan sebagainya.

Afdeling Borneo Selatan dan Timur selanjutnya berkembang menjadi Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara.

B. Afdeling Borneo Barat

Pada awalnya, penduduk di Borneo Barat juga mengidentifikasi diri berdasarkan nama sungai pada masa Hindia Belanda. Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsch-Indië pun mencatat secara spesifik kawasan-kawasan sungai tersebut sekaligus menjabarkan siapa penghuninya.

Misalnya, Sungai Landak dihuni oleh orang Dayak; Sungai Sekayam dihuni oleh orang Dayak; sedangkan Sungai Sekadau dihuni oleh orang Dayak dan Melayu.

Namun, pengaruh interaksi budaya dan politik di Afdeling Borneo Selatan dan Timur berbeda jelas dengan di Afdeling Borneo Barat. Penduduk di kawasan Afdeling Selatan dan Timur—seperti orang Kutai, Banjar, Paser, dan Tidung—disebut berdasarkan nama kerajaan (biasanya untuk kelompok orang negeri yang beragama Islam). Karena faktor historis, geneologis, dan linguistik, orang Kutai, Paser, dan Tidung akhir-akhir ini menyatakan diri sebagai kaum Dayak.

Sementara itu, orang negeri di Borneo Barat tidak menyebut diri berdasarkan nama kerajaan, misalnya sebagai orang Sanggau, Landak, atau Sintang dalam konteks etnis (orang negeri) sebagaimana halnya orang Kutai, Paser, Tidung, dan Banjar. Penduduk di kawasan Sanggau, Sekadau, Sintang, dan sekitarnya secara historis, geneologis, dan linguistik merupakan orang Dayak. Namun, akibat pencatatan administratif oleh para controleur dan asisten residen pada masa itu, banyak di antara mereka kemudian mengidentifikasi diri sebagai Melayu.

C. Sabah dan Serawak

Sabah dan Serawak pada masa Hindia Belanda adalah bagian dari koloni Inggris – di bawah kepemimpinan raja putih (Brooke). Saat ini kawasan Sabah dan Serawak menjadi negara bagian Malaysia. Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsch-Indië menggambarkan cukup rinci berbagai kawasan utama di Sabah dan Serawak.

D. Kesultanan Brunei

Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsch-Indië menggambarkan Brunei sebagai kawasan kecil pada masa Hindia Belanda. Sultan hidup di tengah kampung, yang rumahnya berdinding tikar pandan. Sungguh jauh dari citra Brunei saat ini.

Pada abad XX, ketika minyak ditemukan, Brunei berubah. Sekarang menjadi salah satu kawasan paling makmur di Borneo.


Bab VII — Lemma Tentang Borneo dari Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsch-Indië

Bagian ini menampilkan lema-lema tentang Borneo dari Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsch-Indië edisi I, II, III yang dibuat secara alfabetis dari huruf A sampai Z.

Keseluruhan lema dari bahasa asli (Belanda klasik) yang ditampilkan di sini bisa mencapai 100.000 kata. Agar dipahami oleh pembaca awam, maka seluruh lema ini memiliki pengertian dalam bahasa Indonesia modern.

Bagian ini menjadi data penting, yang bisa dirujuk oleh para penulis, peneliti, dan pengajar sejarah Borneo.


Pustaka

Bagian ini menjabarkan berbagai rujukan yang digunakan untuk menarasikan buku.


Penutup

Pada akhirnya – ketika orang-orang mengetahui buku ini, maka menjadi suatu kewajiban untuk membacanya, memahami dan merujuk, agar bisa menggambarkan Borneo secara utuh dari sudut pandang sejarah.

Format buku: 16 x 23 cm – perkiraan ketebalan 500 halaman – soft cover dan hard cover.
Peminat dapat menghubungi:
📞 Damianus Siyok (Penulis)0811-52210

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MANUSIA SUNGAI DAYAK KECIL

SUARA ENGGANG Sebuah Bunga Rampai Tentang Dayak Kalimantan Dari Dapur ICDN

PERTANIAN DI TANAH DAYAK Dari Perladangan ke Agroforestry