ASAL NAMA KALIMANTAN DAN DEMOGRAFI BORNEO ABAD XIX
Dalam percakapan di wag Lembaga Literasi Dayak sekitar tahun 2024, dibahas mengenai asal-usul kata Kalimantan. Pada saat itu rujukan yang dipakai adalah tulisan J.U. Lontaan. Sayangnya, tulisan Lontaan menimbulkan perdebatan karena tidak jelas sumbernya, dari mana ia merangkai kalimat bahwa Kalimantan berasal dari nama pohon asam yang populer di masyarakat.
Bagi orang Kalimantan Barat, hal tersebut tidak sulit dibayangkan, sebab mereka mengenal pohon asam kemantan yang bunyinya bisa berubah menjadi Kalimantan. Namun, hal ini berbeda bagi orang Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, karena di wilayah ini asam kemantan dikenal sebagai asam putar. Dengan demikian, istilah Kalimantan yang dikaitkan dengan pohon kemantan tidak begitu masuk ke dalam pemahaman masyarakat Kalteng dan Kalsel—belum lagi masyarakat Kaltim dan Kaltara yang kemungkinan memiliki sebutan lain.
Buku DAYAK BORNEO BERDASARKAN PELAJARAN GEOGRAFI SEKOLAH BELANDA menuntaskan kebingungan yang selama ini terpendam. Dalam Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsch-Indië atau KAMUS GEOGRAFI HINDIA BELANDA (dua edisi dengan tebal 1.500 halaman), pada edisi pertama yang terbit tahun 1861, halaman 199–205 dijelaskan bahwa istilah Kalimantan diambil dari nama pohon asam (hlm. 99):
Borneo – eigenlijk Braunie, bij de inlanders Kalamantin, Klemantin of Klemantan genaamd naar eene inheemsche zure vrucht.
(Borneo – sebenarnya Braunie, oleh penduduk asli disebut Kalamantin, Klemantin, atau Klemantan, dinamai menurut sebuah buah asam khas daerah itu).
Sekitar tahun 1850, jumlah penduduk Borneo atau Kalimantan diperkirakan mencapai 1.200.000 jiwa. Dari jumlah itu, orang Dayak mencapai 950.000 jiwa, sehingga pada masa itu Dayak merupakan mayoritas penduduk pulau Borneo. Namun, buku geografi tersebut menuliskan Dayak sebagai penganut kepercayaan leluhur. Orang Dayak yang memeluk agama Islam dimasukkan ke dalam kategori Melayu. Dengan demikian, kelompok Muslim—yang terdiri dari Melayu, Bugis, Arab, dan Jawa—berjumlah sekitar 200.000 jiwa, sedangkan orang Tionghoa sekitar 50.000 jiwa.
Buku ini menjadi pegangan penting bagi penulis, peneliti, pengajar, sejarawan, budayawan, serta siapa pun yang ingin melihat Borneo dari berbagai sudut pandang. KAMUS GEOGRAFI HINDIA BELANDA menjabarkan berbagai bangsa, nama tempat, kota, kerajaan, sungai, bukit, dan lain-lain di kepulauan Nusantara. Namun, buku DAYAK BORNEO BERDASARKAN PELAJARAN GEOGRAFI SEKOLAH BELANDA telah memilah dan memilih dengan fokus khusus pada bagian Borneo—mulai dari Kalimantan hingga Sarawak, Sabah, dan Brunei.
Buku ini juga memaparkan tentang bangsa Melayu dan Bugis. Orang Melayu disebut berasal dari Sumatera, sedangkan Bugis dari Sulawesi. Meski demikian, keduanya berpengaruh besar di Borneo, termasuk terhadap masyarakat Dayak. Bugis, misalnya, pada tahun 1850 sudah memiliki koloni besar di Kutai (Samarinda) dan Mempawah. Sementara itu, orang Melayu menguasai bandar-bandar besar sebagai pedagang.
Lebih jauh, buku ini memberikan gambaran demografis dan geografis (termasuk nama rupabumi). Anda mungkin terkejut bahwa pada tahun 1850, kawasan Mualang dihuni sekitar 10.000 orang, sementara Bakumpai berjumlah 10.825 orang. Dengan demikian, pada masa itu jumlah penduduk Mualang dan Bakumpai hampir sama. Kampung Kampuri di Kahayan hanya berjumlah 60 orang, sedangkan Bereng Rambang dihuni sekitar 80 orang.
Contoh lain adalah Bunut, sebuah kawasan di Kerajaan Sanggau, yang pada tahun 1850 dihuni 1.682 jiwa, terdiri atas 500 orang Melayu, 12 orang Tionghoa, dan sisanya adalah Dayak. Adapun kampung-kampung di sekitar Kerajaan Sanggau, khususnya di bantaran Sungai Kapuas, hampir seluruhnya dihuni orang Dayak. Masyarakat Bunut dan kampung-kampung Dayak saat itu tunduk pada Penembahan di Sanggau.
Dalam perbincangan di wag Literasi Dayak pada Kamis, 25 September 2005, topik pembahasan melebar panjang mengenai Paser dan kemudian merembet ke Kutai. Apakah kedua klan yang kini dipisahkan oleh BPS sebagai suku tersendiri merupakan bagian dari Dayak? Buku ini melihat keduanya berdasarkan dokumen-dokumen lama, dengan meninjau kaitan historis, genealogis, linguistik, dan kulturalnya dengan Dayak. Hal inilah yang menjadi landasan kuat mengapa orang Kutai dan Paser juga disebut Dayak.
Buku ini tidak hanya bersumber dari KAMUS GEOGRAFI HINDIA BELANDA yang sangat kaya data, melainkan juga dari buku-buku geografi berbahasa Belanda, ILMU BUMI, serta ditunjang sumber-sumber primer tentang Borneo, seperti catatan Schwaner, Verth, Pijnappel, Guffron, dan lainnya.
Spesifikasi Buku:
-
Ketebalan: ±500 halaman
-
Dilengkapi ilustrasi gambar pendukung
-
Ukuran: 15 x 21 cm (standar buku)
-
Isi: HVS hitam putih
-
Cover: Hardcover (sampul keras) untuk ketahanan dan tampilan elegan
📌 Informasi lebih lanjut & pemesanan (booking):
👉 Hubungi WhatsApp: 08115266110
Komentar
Posting Komentar