ORANG BARITO ABAD XIX - Narasi Tentang Penghuni Batang Barito Berdasarkan Catatan Para Penjelajah Mula-Mula

ORANG BARITO ABAD XIX

Buku ini menjabarkan apa?

Dalam tulisan yang diterbitkan tahun 1853, Schwaner menuliskan bahwa penghuni sungai Barito dari muara sampai uncak adalah : Dayak Ngaju, Maanyan, Lawangan, Dusun, Siang-Murung, Punan. Sungai Barito adalah jantung Kalimantan pada masa lalu, karena Banjarmasin menjadi kota residen (ada dua kota residen di Kalimantan, yakni Banjarmasin dan Pontianak).  Dari catatan Schwaner ini barangkali pembaca bertanya, dimanakah Banjar? Schwaner menulis saat Sultan Adam masih memimpin Banjar, jadi yang dimaksud dengan Banjar itu adalah kerajaan Banjar. Banjar belum menjadi etnis pada abad XIX – Mary Hawkins menuliskan bahwa Banjar menjadi identitas etnis tatkala bergabung dengan Indonesia pada abad XX. Bahwa orang Dayak Ngaju adalah penghuni mula-mula muara Barito ditegaskan oleh hasil penelitian Balai Bahasa Kalimantan Selatan (Zamzaroh 2020, 14 – 15; Siyok 2025, 27), ditegaskan oleh prosa Hikayat melalui penamaan ‘Orang Negeri’.

Siapakah orang negeri di Borneo? Pelajaran geografi Hindia Belanda, khususnya Ilmu Boemi dalam berbagai edisi menuliskan orang negeri di Borneo adalah Dayak. Selain orang negeri, etnis-etnis lain disebut orang dagang (pendatang yang berdagang di muara).

Abad XVI, orang Ngaju di muara, dibawah kepemimpinan Patih Masih, Patih Balit, Patih Balandean, Patih Balitung, Patih Muhur mengangkat Samudera menjadi raja di kawasan Kuin. Kerajaan baru ini bernama Banjarmasih (ikut nama kampung yang dipimpin Patih Masih).Kerajaan baru ini menimbulkan peperangan dengan kerajaan yang eksis di Nagara, yaitu Daha. Agar kuat, Samudera dan kelima Patih Dayak Ngaju tadi meminta bantuan militer ke Sultan Demak. Syarat mutlak dari Sultan Demak adalah, raja Banjar dan pembesarnya masuk Islam, dan syarat itu diterima Pangeran Samudera dan kelima Patih Dayak Ngaju. Tahun 1526, para pendiri kerajaan Banjar masuk Islam di bawah penghulu Demak.

Ini kawasan muara Barito. Dari Hikayat Banjar, prosa naratif yang ditulis abad XVII dan diteliti oleh profesor bahasa dari Leiden, Johanes Ras menyebutkan ada dua kelompok di Bandar Masih saat kerajaan itu baru berdiri, yakni orang Negeri (Dayak Ngaju) dan orang Dagang (Melayu, Cina, Bugis, Arab, Jawa). Jumlah orang (yang berkumpul di Bandar) Negeri  sekitar 6.000 orang dan orang dagang 1.000 orang.  Dari berbagai perjanjian Sultan dan Belanda, sejak pemerintahan Pangeran Batu (Sunan Nata Alam), Sultan Sulaiman dan Sultan Adam, orang-orang negeri ini tunduk kepada hukum Sultan dan orang dagang tunduk kepada hukum Belanda.  

Lalu, proses terbentuknya orang-orang Banjar sebagai etnis?  Kerajaan Banjar adalah Entitas Sosio-Politik yang eksis abad XVII sampai XIX, sedangkan etnis Banjar adalah entitas Etnokultural serta identitas etno-religius yang terbentuk awal abad XIX. Mary Hawkins menerangkan bahwa identitas Banjar sebagai etnis muncul karena konsep ke-Indonesiaan yang muncul awal abad XX, yakni gabungan orang negeri dan orang dagang.  Karena etnis Banjar dibentuk dari kelompok dan bangsa yang berbeda, yakni orang negeri (Dayak) dan orang dagang (Melayu, Bugis, Arab, Jawa) yang memeluk Islam, maka fenomena ini dapat dijelaskan melalui kerangka etnogenesis, yaitu terbentuknya kelompok etnis baru melalui perpaduan unsur-unsur budaya dan politik. Andrew Gillett menerangkan bahwa etnogenesis sebagai fenomena atas munculnya kelompok sosial baru yang membentuk identitas kohesif (Gillett 2002, 244).

Banjarmasih – orang Banjar terangkum dalam bab IV dan bab VI, selanjutnya bab VI membahas orang Dayak Ngaju di muara Barito, diantaranya Bakumpai.

Di hulu Bandar Masih adalah Bandar Muara Bahan. Ini kawasan orang Bakumpai, orang Dayak Ngaju yang pemimpinnya memeluk Islam tahun 1526. Schwaner menuliskan bahwa orang-orang Bakumpai hampir seluruhnya memeluk Islam tahun 1688. Tahun 1843-1845, hampir semua orang Bakumpai menjalankan aktivitas Dagang. Jumlah mereka sekitar 5.750 orang, menyebar dari Muara Bahan, kawasan orang Maanyan, Lawangan, Dusun, Siang Murung, Mahakam dan Pulau Petak. Oleh karenanya, ciri utama orang Bakumpai adalah Islam. Bahasanya adalah Dayak Ngaju yang dipengaruhi Melayu, Cina dan Arab.

Orang-orang Bakumpai bukan cuma berdagang, namun menyebarkan Islam. Di beberapa kawasan orang Lawangan, Dusun dan Siang Murung, mereka juga diangkat sebagai kepala suku. Bangert mengangkat Damang Marta Djaya dari Bakumpai sebagai kepala Karau. Sehingga tidak heran, orang-orang Maanyan, Lawangan, Dusun, Siang Murung seringkali menyebut diri ‘jadi Bakumpai’ saat masuk Islam pada abad XIX. Ini tentu membuat populasi orang Bakumpai cepat bertambah.

Sebagai penganut Islam yang taat, Bakumpai berbeda dengan Banjar. Banjar terbentuk dari proses asimilatif berbagai etnis dan bangsa, Bakumpai hanya terbentuk dari unsur-unsur Dayak, sehingga tepat dijelaskan dari konteks etno-religus hibrida. Dimana terbentuknya identitas Bakumpai bersifat akulturatif. Bisa dijelaskan melalui narasi ‘Third Space’  Homi K. Bhabha, yakni wilayah antarbudaya, tempat makna lama terganggu dan simbol baru diciptakan (Bhabha 1994, 37). Dalam konteks ini etno-religus hibrida, identitas Bakumpai mencerminkan keberhasilan dalam mengolah perjumpaan budaya menjadi ruang hidup baru yang lentur, adaptif, dan historis.

Namun untuk memahami Bakumpai tidak cukup berhenti di bab V dan VI, harus membaca keseluruhan bab, karena orang Bakumpai ada di sepanjang sungai Barito, termasuk menjadi actor penting semasa Perang Banjar oleh keterlibatan Wangkang, Gusti Matali (pihak Antasari) dan Rangga Niti (pihak Belanda).

Di hulu Maanyan ada Mangkatip, ini masih bagian dari bab VI. Dayak Mangkatip adalah Dayak Ngaju yang serumpun dengan orang-orang Barangas di Bandarmasih dan Bakumpai di Muara Bahan. Mangkatip dipengaruhi Pulau Petak, Bakumpai dan Maanyan. Tahun 1857, Kepala Mangkatip adalah orang terpelajar di masanya, karena sudah bisa membaca dan menulis, baik aksara Melayu maupun Arab dan sudah berlayar ke Jawa untuk berdagang. Orang-orang Mangkatip pun berpakaian seperti orang Bandar.

Di Hulu Mangkatip ada Maanyan. Ini terangkum dalam bab VII. Maanyan adalah etnis yang mengalami sejarah panjang. Pernah mendirikan Nan-Sarunai. Bangert membagi Maanyan sebagai orang Melayu dan orang Dayak, hanya karena Maanyan menganut Islam, Kaharingan dan Kristen. Tahun 1857, ada sekolah di kawasan Maanyan, yang diprakarsai oleh Deningger di kawasan Soeta Ono dan Klemmer di kawasan Tamanggung Djaya Karti. Meskipun Soeta Ono dan Djaya Karti memegang teguh kepercayaan Kaharingan kala itu, orang-orangnya mulai menganut Kristen. Soeta Ono sekolah, bisa membaca dan menulis, mendorong anak-anak Maanyan bersekolah dengan Deningger. Di masa Bangert sebagai gezaghebber, Soeta Ono sudah menghapus perbudakan (jauh mendahului Tumbang Anoi), melarang orang-orang Maanyan berhutang dengan pedagang. Kala itu orang Maanyan sudah maju dalam hal pertanian dan aksara.

Ketika Perang Banjar meletus, Soeta Ono dan Tamanggung Djaya Karti dipihak Belanda. Itulah sebabnya, Antasari membangun istana di Ringkau Kattan dan ingin menguasai Sihong dan Patai. Terjadi perang antara Antasari dan Soeta Ono pada pertengahan tahun 1860, yang berakhir dengan kehancuran Ringkau Kattan, sehingga Pangeran Antasari harus mudik ke Mantallat dan membangun benteng di Bukit Tongka. Peristiwa inilah yang membuat Soeta Ono bermusuhan dengan gerakan Antasari, bahkan sampai ke masa Pangeran Matseman dalam Perang Barito. Saat pasukan Van Vloten menggempur Tongka, yang membuat Antasari harus mundur ke muara, Soeta Ono adalah pengiring.

Di hulu Maanyan ada orang Lawangan. Kelompok terlukis pada bab VIII. Sesungguhnya kelompok ini serumpun dengan orang Banuaq, Kutai dan Pasir. Orang Lawangan mendapat pengaruh yang besar dari Bakumpai. Pemimpin Lawangan di Karau adalah orang Bakumpai. Ketika Bangert mengunjungi Lawangan tahun 1857, dia menyatukan orang-orang Bakumpai di lanting dengan orang-orang Lawangan di darat, dalam satu kampung, dimana sebuah rumah di darat. Untuk menghindari serangan orang-orang Pari, Kapuas, Kahayan yang bisa datang kapan saja.

Abad XIX, orang Lawangan ada yang membangun kuta, hidup dalam kasta sosial, melakukan praktek jual-beli budak. Itulah yang menyebabkan Bangert ingin ada orang-orang seperti Deningger dan Klemmer di sana, karena melihat hasil perjuangan kedua missionaris Jerman itu di Maanyan. Bangert bahkan ingin orang-orang yang bisa mengajarkan bahasa tulis juga ada di kawasan Dusun dan Siang, namun dia terbunuh di Onrust pada Desember 1859.

Di atas Lawangan ada Dusun. Bahasan tentang Dusun ada di bab IX, X dan XI. Kawasan Dusun dimulai dari Sungai Ayu, sungai Montallat, sungai Teweh sampai sungai Lahei. Pengaruh Bakumpai sangat kental di sini, karena orang-orang Bakumpai selain menguasai perdagangan dan memegang kendali ekonomi, juga membangun kampung di muara-muara, misalnya muara Ayu, Lalutung Tour, dan Gajoh di Teweh. Karena menguasai ekonomi, Bakumpai juga menguasai politik.

Montallat adalah penghasil besi kelas satu pada abad XIX, dikenal dengan besi montallat. Sedangkan Teweh menghasilkan sarang burung wallet, yang membuat Tamanggung Aria Pati kaya raya. Schwaner menuliskan, Aria Pati adalah orang paling kaya di kawasan Barito, setelah para pangeran kerajaan Banjar. Orang Bakumpai menguasai jalur Teweh karena kawasan ini jalur perdagangan ke Kaltim. Perdagangan orang Bakumpai dan Bentian membuat kawasan ini hidup.

Orang Dusun suka berperang pada abad XIX (sebelum perjanjian Tumbang Ani). Dari kawasan sungai Montallat, sungai Teweh, sungai Lahei, orang-orang Dusun selalu ambil bagian apabila ada ekspedisi perang yang digagas para kepala suku. Musuh mereka adalah orang Kapuas, Kahayan, Katingan, Mantaya dan Melawi. Tahun 1857, memang ada orang-orang yang sudah tidak lagi berminat terhadap perang di kawasan Teweh. Schwaner sebagai mereka kelompok Anga. Orang Anga meninggalkan kebiasaan perang antar suku karena pengaruh orang-orang Bakumpai, dimana orang-orang Anga rata-rata masuk Islam dan menjadi Bakumpai. Tamanggung Aria Pati bahkan sudah masuk Islam, serta kawasan Anga adalah pusat perkumpulan orang Bakumpai yang melakukan perdagangan di kawasan Dusun dan Siang Murung.

Ketika Perang Banjar, pemimpin Dusun, seperti Tamanggung Surapati, Mangkusari, Aria Pati, Mas Anom dan Tamanggung Rupa adalah aliansi Pangeran Antasari. Itulah sebabnya, ketika Onrust tenggelam Desember 1859, Komandan Perang, yakni Mayor Verpijck menginstruksikan pembalasan lewat serangan kapal Perang Boni dan Suriname untuk menghancurkan kedudukan Tamanggung Surapati, Tamanggung Ariapati, Tamanggung Mas Anom dan Tamanggung Rupa.

Di atas Lahei, adalah kawasan orang Siang Murung. Tahun 1843-1847, pemimpin kawasan Siang Murung adalah Tamanggung Kerta Negara, berkedudukan di Tataluhung. Orang Siang tunduk kepada kepala distrik Dusun – Siang, yakni Tamanggung Surapati. Kedudukan Surapati ada di kampung Bahan, yang kala itu masuk ke kawasan sub-distrik Siang Murung.

Narasi soal orang Siang dan Murung bab XII. Orang-orang Siang Murung adalah pasukan paling setia bagi Surapati saat Perang Banjar. Oleh karena itu, mereka ikut Surapati sebagai aliansi Pangeran Antasari. Pasukan Siang Murung menguasai kawasan sungai Ayu dan Montalat dari tahun 1860 sampai 1862. Le Rutte menuliskan bahwa jumlah mereka tidak kurang dari 3.000 orang. Pasukan ini sangat menguasai medan, memiliki teknik perang yang menyulitkaan aliansi Belanda dari Banjarmasin. Pasukan mayor Scuak babak belur di sungai Sinang dan sungai Ayu oleh pasukan orang Siang Murung. Bahkan pasukan Rangga Niti dari Marabahan membatalkan ekspedisi ke Gunung Tongka tatkala mengetahui orang Siang Murung sudah menguasai Montallat dan Ayu.

Orang Siang adalah aliansi orang Dusun, bukan saja soal perang namun soal kedekatan adat-istiadat. Dan sama seperti orang Dusun, abad XIX orang Siang Murung masih bermusuhan dengan orang Kapuas, Kahayan, Katingan, Mantaya dan Melawi. Itulah sebabnya, kedatangan Tamanggung Silam dari  Tanah Siang sangat dinanti saat pertamuan Tumbang Anoi 1894, dimana pertemuan itu tertunda karena menunggu Sang Tamanggung. Pertemuan itu tidak berarti apa-apa, apabila Tamanggung Silam tidak hadir.

Untuk Dusun dan Siang Murung, Schwaner memiliki catatan etnografis yang panjang. Dari pembagian kasta, hukum adat, pernikahan, hubungan anak dan orang tua, melihat tanda alam dari suara burung, benda-benda yang jadi symbol kekayaan, tradisi berperang dan lain sebagainya. Yang diformat tersendiri dalam bab XIII buku ini. Dari catatan Schwaner ini pembaca akhirnya memahami, mengapa pasukan Antasari begitu kuat di kawasan Barito.

Bab XIV menarasikan beberapa kepingan Perang Banjar, seperti pertempuran Ringkau Kattan, tenggelamnya kapal Onrust, pertempuran di sungai Ayu dan Montallat, sampai pertempuran puncak di Bukit Tongka.

Bahan penting yang jadi pondasi adalah tulisan tulisan Schwaner dalam dua buku dan satu paper, Hikayat Banjar dan telaah Ras Johanes, catatan perjalanan Bangert, dokumen perjanjian Sultan dan Belanda, tulisan Le Rutte, Kapten Tihon, Perelaer, Willem Adrian Rees serta dokumen-dokumen yang dibuat pada abad XIX serta abad XX yang mendukung. Bicara soal manusia, hubungan social ekonomi, social politik, adat istiadat, peperangan, dsb.

Buku ini sebetulnya menjelaskan dinamika di Barito abad XIX, berdasarkan naskah-naskah yang ditulis pada masa itu. Karena dari sana kita tahu, mengapa ada etnis Banjar dan etnis Dayak pada abad XX dan XXI.

Di bagian awal, yakni bab II berbicara tentang Dayak menurut pelajaran di sekolah Belanda. Bahwa di sekolah-sekolah Belanda diajarkan bahwa pribumi Borneo adalah Dayak apabila menggunakan buku Ilmoe Boemi cetakan 1875. Bab III tentang Dayak modern, dimana penulis merekonstruksi definisi beradasarkan dokumen-dokumen, perjalanan ke Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim dan Serawak, diskusi-diskusi kritis tentang Dayak, sehingga definisi Dayak dibuat pada bab III ini adalah ‘Dayak adalah orang asal Borneo, yang menetap dari kawasan pantai sampai perhuluan, menganut agama leluhur maupun agama baru (yang resmi di Indonesia dan Malaysia saat ini), dimana cara hidup leluhurnya harmoni dengan alam Borneo, catatan tentang mereka sudah terdokumentasi oleh catatan kolonial dan buku-buku pelajaran geografi di sekolah kolonial.

Buku dengan nomor ISBN 978-623-89896-4-5 diformat dengan ukuran 15 x 21 cm setebal 232 halaman. Peminat bisa menghubungi penulis – Damianus Siyok di 08115266110

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MANUSIA SUNGAI DAYAK KECIL

SUARA ENGGANG Sebuah Bunga Rampai Tentang Dayak Kalimantan Dari Dapur ICDN

PERTANIAN DI TANAH DAYAK Dari Perladangan ke Agroforestry