PERANG DAN PERBUDAKAN DI TANAH DAYAK - Latar Belakang Pertemuan Tumbang Anoi 1894

PERANG DAN PERBUDAKAN DI TANAH DAYAK – Latar Belakang Pertemuan Tumbang Anoi 1894

Judul dan subjudul sudah memberikan gambaran singkat bahwa isi buku ini memaparkan sejarah di Tanah Dayak.

Buku yang terdiri dari 10 bab ini memang menggambarkan masa lalu di Tanah Dayak, sebelum pertemuan para kepala suku di Tumbang Anoi tahun 1894. Pertemuan Tumbang Anoi adalah rapat besar para kepala suku Dayak yang merumuskan peristiwa penting bagi Borneo, yaitu peralihan dari budaya betang lama ke budaya betang baru—istilah yang dipinjam dari buku Elisae Sumandie (Sumandie, 2024).

Budaya betang lama adalah istilah yang menggambarkan kehidupan masyarakat Dayak yang saling bermusuhan, saling memperbudak, saling mengayau, dan menjadikan Borneo sebagai kawasan angker bagi penduduk maupun pendatang. Contohnya, Mayor Müller yang masuk ke jantung Borneo sebagai penjelajah kemudian hilang karena dikayau, sehingga namanya diabadikan sebagai nama sebuah bukit.

Di dalam budaya betang lama, strata sosial berlaku. Ada kaum bangsawan, kaum merdeka, dan kaum budak. Yang menikmati hidup dan sumber daya alam Borneo hanyalah kaum bangsawan dan kaum merdeka. Kaum budak bukan hanya kelas pekerja yang tidak dihargai, tetapi nilai mereka bahkan berada di bawah harga seekor kerbau. Dalam laporan Schwaner dan Tromp, seorang budak nilainya hampir setara dengan seekor babi. Budak sering dikurbankan dalam ritual-ritual penting karena dianggap lebih ekonomis daripada mengurbankan kerbau. Anak-anak budak kerap dipisahkan dari orang tuanya karena diperjualbelikan sebagai komoditas. Semakin banyak seseorang memiliki budak, semakin kaya ia dianggap.

Kaum budak dalam pandangan budaya betang lama adalah kelompok manusia yang telah dicabut hak-haknya.

Pertemuan Tumbang Anoi tahun 1894 memutuskan untuk mengakhiri budaya betang lama dan membawa masyarakat Borneo masuk ke kondisi baru yang disebut budaya betang baru. Pertemuan antar kepala suku yang berlangsung selama tiga bulan itu berhasil membawa Borneo memasuki babak baru. Betang baru menggambarkan masyarakat Dayak yang beradab, menyelesaikan persoalan dengan hukum adat dan musyawarah mufakat, serta terbuka terhadap paham-paham luar, khususnya ilmu pengetahuan. Dengan demikian, Borneo menjadi kawasan yang lebih tenang dan damai. Budaya betang lama adalah Borneo sebelum abad ke-20, sedangkan abad ke-20 adalah era Borneo Betang Baru, yang memungkinkan pembangunan peradaban bersama Indonesia, Malaysia, dan Brunei.

Bab pertama buku ini membahas tentang Dayak dan Tanah Dayak. Apa yang dimaksud dengan orang Dayak, dan apa pula yang dimaksud dengan Tanah Dayak. Buku-buku geografi Hindia Belanda menuliskan istilah orang negeri untuk menyebut penduduk asli Borneo. “Dayak” adalah orang negeri Borneo yang bermukim dari muara sampai pedalaman, dari pedagang, petani-peladang sampai peramu. Dalam Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsch-Indië edisi pertama halaman 204 yang terbit tahun 1861 disebutkan populasi Borneo sebanyak 1.200.000 orang, terdiri dari 900.000 Dayak, 200.000 campuran (Melayu, Bugis, dan lain-lain), serta 50.000 Cina. Orang asing atau bukan anak negeri umumnya tinggal di bandar-bandar dan kawasan koloni di sekitar muara, sedangkan orang negeri hidup dari muara hingga pedalaman.

Bab kedua membahas perbudakan, sebagaimana telah digambarkan di awal. Orang menjadi budak karena tidak mampu membayar utang, tidak mampu membayar denda adat, kalah perang, atau menjadi korban perdagangan manusia. Budak adalah populasi dominan di Borneo. Sebagai contoh, di Pulau Petak pada tahun 1846, dari 14.000 penduduknya, sekitar 5.000 adalah budak.

Bab ketiga membahas perang antarsuku. Buku Ilmoe Boemi Hindia Belanda menyebutkan Dayak sebagai “bangsa”, karena terdiri atas berbagai suku dengan bahasa dan sejarah berbeda. Suku-suku ini sering berperang dalam arti sesungguhnya. Pertempuran bisa berlangsung berbulan-bulan, bahkan dengan artileri dan senjata api. Pertempuran paling terkenal diingat para pelancong adalah perang di muara Kahayan, yang melibatkan orang Barito melawan orang Kapuas–Kahayan–Katingan. Pertempuran ini dianggap sebagai penyebab utama depopulasi lelaki di kawasan Barito.

Bab keempat membahas tradisi kayau. Tidak semua suku Dayak mempraktikkannya, tetapi sebagian besar suku dominan melakukannya. Kayau dianggap sebagai pangkal permusuhan, yang sering berlanjut menjadi perang besar. Perang besar pada akhirnya menimbulkan tragedi baru, karena pihak yang kalah akan dijadikan budak oleh pihak pemenang.

Bab kelima membahas tentang kuta, yaitu benteng dari kayu ulin atau nibung yang melindungi kampung. Suku-suku yang suka berperang membangun kuta sebagai benteng pertahanan. Contohnya, Kuta Dewa di Tewah berhasil menahan gempuran orang Pari dari Mahakam, sedangkan Kuta Mawong di Sirat mampu menahan gempuran peluru lela dan senjata api dari laskar Tamanggung Surapati, meskipun dikepung selama tujuh bulan dan ditembaki terus-menerus. Kuta bukan sekadar tempat bertahan, tetapi juga simbol kaum ningrat. Pemilik kuta adalah kepala suku yang dikelilingi banyak budak. Hal ini menegaskan bahwa hanya kaum kelas atas yang memiliki harta, sedangkan budak tidak memiliki apa pun dan kehidupannya bergantung sepenuhnya pada majikan, mulai dari pakaian, tempat tinggal, hingga makanan.

Mengapa para kepala suku atau orang kaya sering membangun betang sepanjang 300 meter? Selain memberikan kenyamanan bagi diri dan kerabatnya, betang-betang dalam kuta biasanya dihuni oleh budak-budak beserta keluarganya. Oleh karena itu, banyak bilik disediakan untuk mereka.

Bab keenam membahas keterlibatan orang Dayak dalam Perang Banjar. Perang Banjar adalah perang paling panjang dan menakutkan di Borneo. Tidak kurang dari tujuh kapal perang, ribuan prajurit, dan biaya besar dilibatkan. Kapal perang Onrust tenggelam dan Kerajaan Banjar dihapuskan akibat perang ini. Perang Banjar kemudian melahirkan Perang Barito, sehingga rentetannya berlangsung lama, dari tahun 1859 hingga 1908. Perelaer menuliskan bahwa Perang Banjar menjadi panjang karena para tamanggung Dayak terlibat di dalamnya. Para pangeran Banjar dari Keraton Martapura menyerah pada tahun 1861–1862, tetapi orang-orang Dayak tetap melanjutkan perang. Tradisi perang antarsuku dibawa ke dalam perlawanan terhadap kolonial. Para pangeran Martapura berhenti karena kehabisan logistik, sementara orang Dayak terbiasa membawa bekal sendiri, termasuk peluru dan senjata dari rumah masing-masing, sehingga mereka selalu memiliki logistik.

Bab ketujuh menggambarkan orang Dayak sebelum Perjanjian Tumbang Anoi. Kehidupan dipenuhi permusuhan dan kecurigaan. Orang asing tidak bisa masuk ke betang, sehingga pendidikan pun sulit masuk ke wilayah Dayak. Memang, sejak tahun 1840-an pendidikan berkembang di Pulau Petak dan sekitarnya, serta sekolah berdiri di Sihong pada 1855, tetapi itu tidak mewakili keseluruhan masyarakat Dayak. Budaya betang lama membuat masyarakat Dayak sulit masuk ke peradaban modern.

Bab kedelapan adalah kilasan tentang orang Dayak setelah Perjanjian Tumbang Anoi. Kehidupan damai mulai tercipta. Sekolah-sekolah berdiri di Tanah Dayak, para pedagang asing berani masuk ke pedalaman, dan masyarakat Dayak mulai terbuka terhadap dunia luar. Dalam tradisi betang lama, kepala orang asing atau pedagang justru menjadi incaran.

Bab kesembilan membahas Pertemuan Tumbang Anoi. Pertemuan ini mengubah segalanya. Para kepala suku yang selama berabad-abad bermusuhan rela melepaskan budaya betang lama dan berikrar masuk ke budaya betang baru. Melalui perjanjian dan ritual adat bersama, mereka mengikrarkan perdamaian, melepaskan dendam lama, serta berjanji membebaskan budak-budak yang ada di rumah mereka. Semua itu benar-benar terjadi, bukan sekadar janji atau ikrar semata. Pertemuan Tumbang Anoi 1894 pun menjadi tonggak lahirnya budaya betang baru.

Bab kesepuluh adalah kilasan tentang bagaimana buku ini ditulis, termasuk sumber-sumber yang digunakan. Tulisan para penjelajah dan saksi sezaman seperti Schwaner, Perelaer, Rees, Maks, Michielsen, Tromp, Tihon, Van, Ven, dan Rute menjadi sumber dominan. Pada cetakan ketiga dan keempat dilakukan revisi. Jika pada cetakan pertama dan kedua gaya sitasi, catatan kaki, dan pustaka masih dipengaruhi tradisi Belanda, maka sejak cetakan ketiga dan keempat digunakan gaya Chicago secara penuh.

Buku yang terbit dengan ISBN 978-623-88971-5-5 ini diformat dengan ukuran 255 hal, 16 x 23 cm – peminat bisa menghubungi penulis di 0811-5266110.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

MANUSIA SUNGAI DAYAK KECIL

SUARA ENGGANG Sebuah Bunga Rampai Tentang Dayak Kalimantan Dari Dapur ICDN

PERTANIAN DI TANAH DAYAK Dari Perladangan ke Agroforestry